Agama Islam turun sebagai wahyu
Ilahi kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7. Setelah Nabi Muhammad dan para
sahabat wafat, penyiaran agama Islam diteruskan oleh para wali, ulama, dan
tokoh-tokoh pejuang Islam dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya, agama Islam
berkembang ke seluruh dunia dan pada abad ke-13 Islam mulai masuk ke Indonesia,
setelah agama Hindu mengalami kemunduran.
Agama Islam masuk dan berkembang
di Nusantara secara damai. Ada beberapa sumber sejarah mengenai masuknya Islam
ke Nusantara.
- Abad ke-7 yang diberitakan dinasti Tang bahwa di Sriwijaya sudah ada perkampungan muslim yang mengadakan hubungan dagang dengan Cina.
- Abad ke-11 adanya makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1028 di Leran, Gresik, Jawa Timur.
- Abad ke-13 tepatnya tahun 1292 Marcopolo mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai.
Berdasarkan berita dari Marcopolo
pada tahun 1292 dan cerita dari Ibnu Batutah yang mengunjungi Kerajaan Samudra
Pasai pada abad ke-14, maka diperkirakan agama Islam sudah masuk di Indonesia
sejak abad ke-13. Di samping itu, batu nisan kubur Malik al Saleh yang
meninggal tahun 1297 juga memperkuat bukti-bukti bahwa pada saat itu telah
terdapat kerajaan Islam di Indonesia.
Pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab,
Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam jalan lalu lintas perdagangan
yang menghubungkan Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara, pada abad ke-7
sampai abad ke-16. Para pedagang muslim yang akhirnya juga singgah di Indonesia
ini,ternyata tidak hanya semata-mata melakukan kegiatan dagang.
Teori Penyebaran
Islam melalui Perdagangan
Melalui hubungan perdagangan
tersebut, agama dan kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia. Pada abad
kesembilan, orang-orang Islam mulai bergerak mendirikan perkampungan Islam di
Kedah (Malaka), Aceh, dan Palembang. Pada akhir abad ke-12, kekuasaan politik
dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya mulai merosot karena didesak oleh kekuasaan
Kertanegara dari Singasari. Seiring dengan kemunduran Sriwijaya, para pedagang
Islam beserta para mubalignya semakin giat melakukan peran politik dalam mendukung daerah pantai yang
ingin melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Menjelang berakhirnya kerajaan
Hindu-Buddha abad ke-13 berdiri kerajaan kecil yang bercorak Islam, yaitu
Samudra Pasai yang terletak di pesisir timur laut wilayah Aceh. Kemudian pada
awal abad ke-15 telah berdiri Kerajaan Malaka. Sejak saat itu, Aceh dan Malaka berkembang
menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai dan banyak dikunjungi oleh
para pedagang Islam dan penduduk dari berbagai daerah terjadi interaksi yang akhirnya
banyak yang masuk Islam. Setelah pulang ke daerah asal, mereka menyebarkan agama Islam ke daerahnya. Agama
dan kebudayaan Islam dari Malaka menyebar ke wilayah Sumatra Selatan, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dalam suasana demikian, banyak raja daerah
dan adipati pesisir yang masuk Islam. Contohnya, Demak (abad ke-15), Ternate
(abad ke-15), Gowa (abad ke-16), dan Banjar (abad ke-16).
(Cakrawala Sejarah untuk SMA/MA kelas XI Buku Sekolah
Elektronik)
Kesultanan Samudera
Pasai (1267–1521)
Kesultanan
Pasai, juga dikenal
dengan Samudera Darussalam,
atau Samudera
Pasai, adalah kerajaan Islam yang
terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi NAD, Indonesia.
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat
Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah
penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa
bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang
disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan
Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan
Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan
ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1
Jumadil awal 913 H atau
pada tanggal 8
September 1507.
Mata Uang Aceh adalah Emas dan Perak.
Aceh
banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya :
1.
Minyak tanah dari Deli,
2.
Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3.
Kapur dari Singkil,
4.
Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5.
Emas di pantai barat,
6.
Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan
lumbung beras bagi kesultanan. Namun di antara semua yang menjadi komoditas
unggulan untuk diekspor adalahlada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan
Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini
$400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari
wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di
pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan
Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan
Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan
pesisir barat Pulau
Jawa, dengan menaklukan
beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer
serta kawasan perdagangan.
Dalam meletakan dasar
pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan
pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini
berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian
masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana
penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu)
dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas
lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan
Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian.
Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16
000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu
hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut,
termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan.
Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri
sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi
kota metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai
salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
Berdasarkan hasil
penelusuran sejarah, di Banten ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata
uang logam Banten, Belanda, Inggris dan Cina. Mata uang Banten terdiri dari dua
tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara
2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat
dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat,
diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm,
terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan
242 keping uang Banten.
Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie.
Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie.
Mata
uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 – 1816. Dari lubang- lubang
ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC
(Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan
bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang
Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi.
Pustaka:
Cakrawala
Sejarah untuk SMA/MA kelas XI Buku Sekolah Elektronik (BSE)
Artikel Terkait: